Chinese plates fit for an Acehnese queen

Abstract

• All over Southeast Asia is found a particular type of coarse Chinese export porcelain traditionally known as ‘Swatow’ ware but now more accurately identified as originating from Zhangzhou, dating from the late Ming period, from the end of the 16th to the early 17th centuries. One characteristic type of large Zhangzhou dish had a central circle with eight smaller circles around it, all filled with inscriptions in Arabic script. The marked visual similarity with the great seal of Aceh, which over a period of 250 years always gave the name of the sovereign in a central circle surrounded by eight small circles containing the names of illustrious forebears, gave rise to the tradition that these Zhangzhou calligraphic plates were specially ordered from China by the rulers of Aceh in the shape of their seal. A close chronological examination belies this widely held belief, as the Zhangzhou plates were largely produced before the Acehnese ‘ninefold seal’ was created in the mid 17th century, most likely in the reign of Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (r.1641–1675). Indeed, conversely, the presence of these prestigious and striking Chinese plates in Aceh may even have contributed to the rich visual repertoire of significant ninefold forms from which the royal Acehnese seal was born. Di seluruh Asia Tenggara ditemukan jenis porselen kasar Cina yang secara tradisional dikenal sebagai buatan ‘Swatow’, tetapi kini diketahui berasal dari Zhangzhou, dari akhir periode Ming, pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Salah satu jenis khas piring Zhangzhou berukuran besar memiliki lingkaran tengah dengan delapan lingkaran kecil di sekelilingnya, semuanya berisi tulisan dalam aksara Arab. Gambaran ini sangat mirip dengan pola stempel atau cap raja Aceh, yang selama kurun waktu 250 tahun selalu mencantumkan nama penguasa dalam lingkaran tengah yang dikelilingi delapan lingkaran kecil berisi nama-nama leluhur termasyhur. Kemiripan ini melahirkan kepercayaan bahwa piring berkaligrafi Arab dari Zhangzhou ini dipesan khusus dari Tiongkok oleh raja Aceh menurut bentuk capnya. Namun, penelusuran kronologis yang cermat memungkiri keyakinan yang dianut secara luas tersebut karena sebagian besar piring Zhangzhou ternyata diproduksi sebelum ‘cap sembilan’ Aceh dibuat pada pertengahan abad ke-17, kemungkinan besar pada masa pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (memerintah pada 1641–1675). Sebaliknya, kehadiran piring-piring Cina yang bernilai tinggi dan mencolok ini di Aceh bahkan mungkin telah berkontribusi terhadap kekayaan repertoar visual berupa sembilan lingkaran yang melahirkan cap kerajaan Aceh.